Guru Gembul sedang menyampaikan edukasi moral dan budaya di kanal YouTube
Guru Gembul saat menyampaikan edukasi terkait budaya, sejarah, dan kondisi moral masyarakat Indonesia melalui kanal YouTube-nya.

Jakarta, – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan populasi religius terbesar di dunia. Data dari berbagai survei menunjukkan lebih dari 85% masyarakat Indonesia memegang teguh nilai agama dan melaksanakan ajaran keyakinan masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Rumah ibadah berdiri megah di setiap sudut kota dan desa; acara keagamaan selalu dipadati jamaah; bahkan identitas religius sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sosial dan politik.

Namun, ironisnya, dalam realitas sehari-hari, Indonesia justru tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi, kriminalitas, dan pelanggaran hukum yang tinggi. Laporan Transparency International 2023 menempatkan Indonesia di peringkat ke-110 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa angka kriminalitas, seperti pencurian, penggelapan, dan kekerasan dalam rumah tangga, masih marak terjadi di berbagai daerah.

Baca juga: Politik Dinasti Jokowi dan Ancaman 2030

Mengapa bangsa yang dikenal religius justru bergelimang masalah moral dan hukum? Inilah pertanyaan besar yang coba dijawab oleh Guru Gembul, seorang pengamat budaya, sejarah, dan pendidikan, melalui kanal YouTube pribadinya. Dalam video berdurasi hampir satu jam, Guru Gembul memaparkan analisis historis-antropologis yang menarik tentang akar dilema ini.

Warisan Sejarah dan Karakter Budaya

Menurut Guru Gembul, jawaban atas paradoks ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang peradaban Nusantara. Indonesia adalah wilayah yang dikaruniai kekayaan alam melimpah, mulai dari tanah yang subur, laut yang kaya, hingga sumber daya tambang berlimpah. Berbeda dengan peradaban lain yang harus berjuang keras melawan cuaca ekstrem atau keterbatasan alam, masyarakat Nusantara relatif hidup nyaman dan berkecukupan sejak ribuan tahun lalu.

"Mau makan tinggal petik, mau minum tinggal ambil. Lingkungan yang serba mudah membuat manusia Nusantara tidak perlu bersusah payah memutar otak atau bekerja keras untuk bertahan hidup," jelas Guru Gembul.

Dari kondisi inilah, perlahan-lahan terbentuk lima karakter dasar masyarakat Indonesia:

  • Malas bekerja — Karena alam mudah dimanfaatkan, motivasi untuk bekerja keras menurun.
  • Malas berpikir — Tidak ada tantangan besar yang memaksa otak berpikir solutif dan inovatif.
  • Resisten terhadap tantangan — Masyarakat cenderung menghindari masalah dan konflik.
  • Tidak mengembangkan literasi — Tidak ada tradisi menulis atau membaca yang kuat.
  • Enggan berkonflik — Lebih memilih jalan damai, meski kadang mengorbankan prinsip kebenaran.

Dampak Kultural yang Masih Terasa

Karakter-karakter dasar ini, menurut Guru Gembul, terus diwariskan turun-temurun hingga membentuk budaya yang masih sangat terasa dalam kehidupan masyarakat modern Indonesia. Dampaknya sangat luas, mulai dari cara berpikir hingga perilaku sosial dan politik.

1. Ketergantungan dan Pasif

Sejarah mencatat, Indonesia lebih sering menjadi objek penjajahan ketimbang penjajah. Berbeda dengan bangsa-bangsa Eropa atau Timur Tengah yang agresif berekspansi, masyarakat Nusantara cenderung pasif.

"Bangsa ini sudah terbiasa disuapi sejak dulu. Makanya ketika ada yang ambil sumber daya kita, kita diam saja. Budaya ketergantungan itu membekas," tegas Guru Gembul.

2. Budaya Menghafal dan Anti Inovasi

Minimnya tradisi literasi membuat masyarakat lebih senang menghafal pendapat orang lain ketimbang memikirkan solusi sendiri. Hal ini berdampak besar dalam dunia pendidikan, di mana sistem hafalan masih mendominasi kurikulum.

"Ketika kita punya gagasan solutif, kita bisa dibully habis-habisan. Lama-lama kita ikut malas berpikir dan ikut arus saja," ungkapnya.

3. Feodalisme dan Pensakralan Masa Lalu

Budaya feodalisme atau pengkultusan status sosial juga masih kuat. Orang dihormati bukan karena kapabilitas atau prestasi, melainkan karena keturunan, jabatan, atau kedekatan dengan tokoh tertentu.

Religiusitas yang Simbolik, Bukan Substantif

Salah satu poin kritis yang disorot Guru Gembul adalah fenomena religiusitas simbolik di Indonesia. Meski masyarakat rajin beribadah dan aktif dalam kegiatan keagamaan, nilai-nilai agama seringkali hanya berhenti di tataran ritual, bukan pada pengamalan etikanya dalam kehidupan sehari-hari.

"Kita sholat lima waktu, puasa, naik haji, tapi tetap korupsi. Kita aktif pengajian, tapi tetap main proyek kotor. Ini karena agama hanya jadi simbol, bukan karakter," jelasnya lugas.

Jalan Keluar: Literasi, Inovasi, dan Keberanian Berbeda

Sebagai penutup analisisnya, Guru Gembul menawarkan beberapa langkah yang bisa ditempuh generasi muda agar Indonesia keluar dari lingkaran setan budaya ini:

  • Tumbuhkan tradisi literasi — Biasakan membaca, menulis, dan berpikir kritis sejak dini.
  • Berani berpikir mandiri — Jangan takut berbeda pendapat atau menawarkan solusi baru.
  • Bangun etos kerja — Hargai proses kerja keras dan jauhi mentalitas instan.
  • Kembangkan inovasi lokal — Jangan hanya jadi konsumen produk luar, tapi produsen gagasan.
  • Internalisasi nilai agama secara substansi — Jadikan agama sebagai pedoman perilaku etis, bukan sekadar ritual formalitas.
"Kalau kita ingin bangsa ini maju, kita harus berani berpikir sendiri, berani berinovasi, dan jangan takut berbeda. Jangan hanya jadi bangsa penghafal dan pemimpi," pungkas Guru Gembul.

Kesimpulan

Fenomena tingginya korupsi dan kriminalitas di tengah masyarakat religius Indonesia bukanlah semata-mata masalah individu, tetapi buah dari warisan sejarah dan budaya yang sudah mengakar. Memahami akar permasalahan ini adalah langkah awal menuju perubahan.

Kini, tugas generasi muda adalah mencetak peradaban baru — yang lebih beretika, produktif, dan inovatif — tanpa harus tercerabut dari akar budayanya.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan keberanian berpikir mandiri.

Catatan: Artikel ini ditulis untuk tujuan edukasi dan refleksi sosial, berdasarkan data publik dan analisis media. Setiap kutipan atau referensi telah disebutkan sebagaimana mestinya.

  • 1. Badan Pusat Statistik (2022) – https://bps.go.id
  • 2. Transparency International (2024) – https://transparency.org
  • 3. LIPI – Laporan Sosial Religius (2023)
  • 4. Komnas HAM – Laporan Kekerasan Agama (2023)
  • 5. Detik.com – “Ironi Negeri Religius” (2024)

© 2025 Amsor TV Official. Semua hak cipta dilindungi undang-undang.